KUTANG episode 2
Kembali ke pos jaga.
“Jelas sudah siapa pelakunya.” Sugito duduk melipat kaki
dalam balut sarung yang menutupi seluruh tubuhnya.
Sementara itu, Saimun
hanya menyangga dagu di bawah, tak jauh dari diang yang masih mengepulkan asap.
Hanya itu yang terdengar dari mulut Sugito, selebihnya hanya
lagu dangdut mengalun dari HP yang memutar MP3,
ada di hadapannya, tertulis ‘Curang-Meggi Z’.
Keduanya masih membisu, tanpa saling tatap. Sesekali Saimun
menepuk nyamuk yang ada di pipi, sementara Sugito mendongak dengan tatap
kosong, pikiran melompong, mulut terbuka bengong.
“Aku tak menyangka, Kang.” Sugito buka suara dengan tetap
mendongak.
Saimun tak menimpali, hanya memandang bara api yang terus
mengepulkan asap tanpa henti.
“Ternyata Kang Noto pelakunya.”
Saimun hanya mendengus panjang, sepanjang angannya yang
menerawang akan kejadian banyak hilangnya kutang di kampung ini.
“Apa yang akan kita katakan dengan Pak Rete. Kang Noto
sahabat kita, juga pelaku pencuri dalaman kutang,” gumam Sugito.
“Oh, kutang,” imbuhnya. Sejenak dia menoleh Saimun masih
menyangga dagu.
“Apa kita laporkan masalah ini dengan Pak Rete, Kang?” usul
Sugito.
Saimun menghembuskan napas panjang, jawaban atas pertanyaan
Sugito.
“Bagaimana kalau Yuk Warsinah tahu.”
Masih, sama seperti hening malam, Saimun masih bungkam.
“Kutang. Oh, kutang.”
“Kang Mun?”
Saimun hanya menoleh, tak berucap.
“Bagaimana ini? Kita sudah tahu siapa pelakunya.”
Kembali, dijawab hembus napas berat oleh Saimun yang masih
membisu.
Kembali hening, sayup suara kendang dan suling saling sahut,
menggantikan lagu Curang, berganti lagu ‘Bahtera Cinta’.
“Ehem!”
Keduanya hanya diam, jelas mereka mendengar dehem Kuswanoto
yang berdiri dengan senyum semringah.
“Ehem! Ehem!”
Sugito menoleh ke arah Kuswanoto, begitu juga Saimun, sedikit
mendongak.
“Lapo do meneng ae ki? Wes do ngantok ta?” (Kenapa kalian
diam? Apa sudah mengantuk?).
Kuswanoto melangkah lalu duduk di hadapan Sugito, memandang
sahabatnya bergantian.
“Lapo to do meneng, he?” (Kenapa kalian diam, he?).
Baik Sugito atau pun Saimun tak menyahut. Masih larut dengan
kenyataan yang mereka hadapi.
“Nesu ta?” (Marah?).
“E, nesu. Yo, wes lah.” (E, marah. Ya, sudah). Kuswanoto
membawa tubuh rebah di atas lantai papan, menggantung kedua kaki.
Sugito yang dimaksud, hanya menurunkan pandang menatap
Kuswanoto. Wajahnya begitu datar tanpa ekspresi.
“Ayo! Jare kate rundo. Sido ta gak?” (Ayo! Katanya mau keliling. Jadi apa tidak?),
ajak Kuswanoto.
Masih bungkam keduanya.
“Mun?” Kepada Saimun.
Tak ada sahut jawab. Kuswanoto bangkit, duduk menjuntai kaki.
“Lapo toh do menengan?” (Kenapa kalian pada diam?).
“Kutang,” jawab Saimun.
“Kutang?” balas Kuswanoto.
“Iyak. Kutang.” (Iya. Kutang). Saimun lalu membuang muka.
“Onok opo to iki jane? Opo to, Git?” (Ada apa ini sebenarnya?
Apa, Git?). tanya Kuswanoto heran atas sikap kedua sahabatnya ini.
“Kutang,” Jawaban yang sama dari Sugito.
“Kutang? Gak dong opo seng mbok omongno iki.” (Kutang? Tidak
maksud apa kalian bicarakan).
“Kutang.” Saimun kembali menyebutnya.
“Ha iyo toh. Dewe kate rundo, jogo. Mbok nowo iso nyekel sopo
seng kulino nyolongi kutang-kutange wong wedok kene. Rak iyo to?” (Ha iya! Kita
mau keliling, jaga. Siapa tahu bisa menangkap yang biasa mencuri kutang-kutang
perempuan di sini. Bukannya begitu?).
Sugito melempar tatap ke arah Saimun. Mengangkat alis
beberapa kali sebagai isyarat.
Saimun melakukan hal serupa. “Rika bae lah,” (Anda saja), katanya
dalam hati seraya memainkan moncong bibirnya..
“Kamu saja, Kang. Aku tak sampai hati mengatakannya kepada
Kang Noto,” ucap Sugito dalam hati pula. Masih, memberikan isyarat angkat alis.
“Sih kok nyonge. Rika bae!” (Kok saya. Anda saja!), gulat
batin Saimun, menggerakkan alis juga kini.
“Tidak tega aku!” Kata hati Sugito bak saling bercakap dengan
kata hati Saimun dengan lempar isyarat.
“Ko tak kiamplengi siji-siji nek panggah mbisu!” (Nanti saya
tampar satu-satu kalau masih membisu!), bentak Kuswanoto.
Berbalas gerak alis terhenti. Saimun menatap Kuswanoto, pun
Sugito.
“Aku sudah tahu siapa pelaku pencuri dalaman itu, Kang.”
Sugito lalu menyembunyikan wajah dalam lipat tangan, rasa kecewa menyatu
membaur dengan segala keberanian yang ia himpun.
“He? Wes ketemu ta malinge, he?” (He? Sudah ketahuan apa
malingnya, he?). Kuswanoto lalu melepas gulungan sarung yang melingkar di
leher. Satu sarung yang biasa tertinggal di rumah Sri.
“Sopo wonge? Wes gek ndang dewe parani, cekel, terus serahno
neng Polsek.” (Siapa orangnya? Sudah secepatnya kita datangi, pegang, lalu
diserahkan ke Polsek).
“Sopo uwonge?” (Siapa orangnya?), lanjut Kuswanoto.
Sepi, hening sejenak tanpa ada yang menjawab.
Hembus napas panjang Saimun terdengar membuat Kuswanoto
menoleh ke arahnya.
“Sopo, Mun?” (Siapa, Mun?).
“Rika,” (Anda), jawab Saimun.
“Awakku?” (Saya?).
“Iya. Wis genah Rika. Rika, ‘kan seng nyolongi kutang ambi
cawete wong wadon reng kampunge dewek.” (Iya. Sudah jelas Anda. Anda, ‘kan yang
mencuri kutang dan cancut perempuan di kampung kita).
“Ealah. Tak giajul cangkemu nek ngarani wong waton ae!”
(Ealah. Saya tendang mulutmu kalau asal tuduh!).
“Wis lah, Kang! Wis genah kabeh! Wis ura usah bersandiwara reng
ngarepe nyong!” (Sudahlah, Kang! Sudah jelas semua! Sudah tidak usah bersandiwara
di hadapan saya!).
“Iki opo toh, Mun! Dadi, awakmu nuduh awakku uwonge! Diancok!
Kene! Tak idoni cuangkemu!” (Ini apa toh, Mun! Jadi, kamu menuduh saya adalah
pelakunya! Sialan! Sini! Saya ludahi mulutmu!).
“Nyong kanda apa mau. Kudune Rika seng kanda sit, Kang!” (Saya
bilang juga apa tadi, harusnya Anda yang bicara lebih dulu, Kang!). Justru
Saimun menyalah Sugito setelah dihardik oleh Kuswanoto.
“Iya, Kang. Maaf sebelumnya. Benar apa yang dikatakan oleh
Kang Saimun. Kami telah mengetahui semuanya ... di rumah Sri.”
Brak!
Kuswanoto meradang.
“Dadi, awakkmu gintip, yo! Iyo!” (Jadi, kamu mengintai, ya!
Iya!).
“Nyong disengi Kang Gito, Kang.” (Saya diajak Kang Gito, Kang).
Saimun dengan suara bergetar takut.
“Nyong mung nginjen sedelo bae. Sumpah nyong ura ngasi tutuk
nginjene.” (Saya hanya mengintai sebentar saja. Sumpah saya tidak sampai
selesai), ucap Saimun jujur.
“Rene! Rene! Tak sampluki siji-siji! Rene!” (Sini! Sini! Saya
tampar satu-satu! Sini!).
“Rika sih, Kang!” (Anda sih, Kang!). Saimun masih menyalahkan
Sugito oleh tindakan membuntuti hingga adegan desah dalam remang suasana kamar.
“Maaf, Kang,” ucap Sugito.
“Opo alesane, he? Dadi, awakmu nuduh awakku iki pelakune, ha!
Opo! Munio!” (Apa alasannya, he? Jadi, kamu menuduhku adalah pelakunya, ha!
Apa! Bicara!).
“Sudah jelas, Kang. Kutang yang Njenengan berikan kepada
Sri.”
“Terus? Opo meneh, ha? Opo neh!” (Terus? Apa lagi, ha? Apa lagi!).
“Kang Noto dapat kutang itu dari mana?” tanya Sugito dengan
ekspresi takut.
“La mbok kiro seng adol kutang neng dunyo iki gur sak uwong,
ha! Opo kudu tak ceritakno olehku tuku ko ndi, regone, warnone? Iyo!” (Kamu
kira yang jual kutang cuma satu di dunia ini, ha! Apa mesti aku ceritakan dari
mana dapatnya, harganya, warungnya? Iya!).
Brak!
Sugito mengkeret dalam sarung dengan merapatkan kedua tangan
begitu Kuswanoto kembali menggebrak dinding pos jaga.
“Ko nek omong sak omong waton nuduh, tak blekrek siji-siji
lambemu!” (Kalau bicara asal tuduh, saya sobek satu-satu bibir kalian!).
“Sudah jelas, Kang. Banyak kutang hilang dan Kang Noto
memberikan hadiah kepada Sri, kutang,” anggapan Sugito.
Kuswanoto mencoba sabar meski darahnya mendidih dengan ucapan
sahabatnya.
“Peh jan! Ojok sampek babak bunyak awakmu wong loro. Rene, lungguh
rene!” (Wah! Jangan sampai babak belur kalian berdua. Sini, duduk sini!).
Bentak itu ditujukan buat
Saimun.
Dengan rasa takut Saimun lalu memilih duduk di samping
Sugito.
“Rungokno kupingmu kabeh!” (Dengarkan telinga kalian semua!).
“Dewe iki kekancan gak gur setaon rong taon. Opo awakmu gak
apal mbek watekku, ha!” (Kita ini berteman tidak hanya setahun atau dua tahun. Apa
kamu tidak hafal denganku, ha!).
“Diancok awakmu wong loro!” (Sialan benar kalian berdua!).
“Koroki kupingmu!” (Korek telingamu!).
“Rungokno, yo.” (Dengar, ya).
“Gak mikir konco ngono wes tak untal awakmu doan!” (Tidak
pikir teman sudah saya telan kalian!).
“Ki ... ngeneki ceritone.” (Ini ... begini ceritanya).
Kuswanoto lalu menceritakan ihwal hadiah kutang kepada dua
sahabatnya.
****
“... Ngono iku ceritone.” (... Begitu ceritanya).
“Oalah. Nyong njaluk sepura lah, Kang.” (Oalah. Saya minta
maaf, Kang). Saimun turun lalu meraih tangan Kuswanoto untuk dijabat.
“Saya minta maaf, Kang.” Sugito merangkak untuk melakukan hal
sama.
“Wes, wes. Gak usah didadekno perkoro. Seng penting awakmu
wes genah to doan?” (Sudah, sudah. Jangan dijadikan perkara. Yang terpenting kalian
sudah jelas ‘kan?).
“Terus kepriwe seng kae?” (Lalu bagaimana yang itu?).
“Opo neh? Ngomong seng genah, gak ika-iku, ika-iku. Tak
jejeji lungko mowo ngko malah cangkemu!” (Apa lagi? Bicara yang jelas, jangan
itu-itu. Saya sumpal dengan gumpalan bara mulutmu!).
“Iku. Anu ... eh, anu. Rika bae lah, Kang. Nyonge ura ngasi
wis ... Rika seng nonton ngasi rampung mbok?” (Itu. Anu ...eh, anu. Anda saja,
Kang. Saya tidak sampai selesai ... Anda yang melihat sampai selesai, ‘kan?).
“Lo? Kok saya,” tampik Sugito.
“Wes, wes, wes. Ki, nyoh.” (Sudah, sudah. Ini, ambil). Kuswanoto
menyodorkan sebungkus utuh rokok kepada Saimun, diambil dari saku celana
sebelumnya.
“Nyoh!” (Ambil). Juga kepada Sugito.
“Sogokane kiye lah seng ura nguwati. Ha ha ha.” (Sogok yang
tidak tahan. Ha ha ha).
“O? Lambemu.” (O? Bibirmu).
“Ha ha ha.”
Keduanya tertawa, diikuti senyum mengembang Kuswanoto,
mengembalikan kehangatan saat malam terus menghunus dengan dingin yang menusuk
kulit.
“Wes, ayo!” (Sudah, ayo!).
Ketiganya bergegas melangkah menjauh dari gardu ronda.
Dua sinar keperakan
menyorot tiap langkah dan juga apa yang ada di hadapan mereka. Senter baterai
yang siap menemani ketiganya untuk mengamankan kampung dari pencuri kutang. God
job, Kang!
****
Ketiganya terus berjalan seraya mengarahkan sorot senter ke
bagian belakan rumah-rumah warga. Tak ada yang bisa mereka tangkap selain bunyi
binatang malam.
Saimun berjalan di tengah diapit oleh kedua sahabatnya.
“Kalau kata orang dulu. Berjalan bertiga di malam hari tidak
boleh.” Awal Sugito memecah hening dengan terus mengarahkan senter kepada benda
yang dia anggap mencurigakan.
“Iyak. Nyong weruh, bisa-bisa seng nggenepi kuwe demit. Hi
... ampun biyung.” (Iya. Saya tahu, yang menggenapi bisa hantu. Hi ... ampun mak).
“Ngono kementos eram,” (Begitu saja berlagak ekali), sela
Kuswanoto.
Sugito merapatkan sarung untuk mengusir dingin.
“Mudah-mudahan malam ini kita orang pertama yang bisa menangkap maling itu.”
“Mencar ae opo, yo?” (Berpencar saja apa, ya?).
“Mencar kepriwe sih! Wah ura ... nyong ura setuju nek dewe
mencar,” (Berpencar bagaimana! Wah tidak ... saya tidak setuju kalau berpencar),
sambar Saimun cepat.
“Ha ha ha. Ya, begitu kalau orang rambutnya keriting, pasti
penakut.”
“Jare sapa?” (Kata siapa?).
“Kataku. Buktinya,” balas Sugito.
“Sek. Wetengku mules men, yo.” (Sebentar. Perutku mulas
benar, ya). Ucapan Kuswanoto menghentikan langkah mereka.
“Kebelet ngising apa, Kang?” (Mau berak apa, Kang?).
“Yo, yak ‘e,” (Iya, mungkin), jawab Kuswanoto dengan memegang perut.
“Ya, wis, mengko teka Mejid bae ngisinge.” (Ya, sudah, nanti
kalau sampai Masjid saja beraknya).
“Enteni neng kene sek. Tak golek WC sek.” (Tunggu di sini
sebentar. Mau cari WC dulu).
“Kaelah, kae nunut WC-ne Tarmiji sit bae.” (Itu, itu menumpang
WC-nya Tarmiji saja dulu). Saimun menunjuk arah belakang satu rumah.
“Wes enteni kene sek.” (Sudah tunggu dulu di sini). Kuswanoto
meninggalkan mereka dengan diantar sorot senter dari Saimun.
“Gak usah mbok senteri, Goblok!” (Jangan disenteri, Goblok!),
seru Kuswanoto tertahan.
“Kepenak ya dadi Kang Noto. Gendakan ambi Sri,” (Enak ya jadi
Kang Noto. Selingkuh dengan Sri), bisik Saimun kepada Sugito.
“Apa ura wedi konangan Yuk Warsinah?” (Apa tidak takut
ketahuan Yuk Warsinah?).
“Niat ketahuan sudah dari dulu, Kang,” balas Sugito.
“Mung modal kutang bae, iso ajeb-ajeb ambi Sri. Beja temen
kae menungsa.” (Cuma modal kutang saja, bisa begituan dengan Sri. Beruntung
sekali itu orang).
“Dasarnya mereka itu saling mencintai, Kang,” ucap Sugito.
“Cuma Yuk Warsinah itu tidak tahu permainan mereka berdua.
Kang Noto juga pintar membohongi istrinya. Mainnya halus,” imbuhnya.
“Nyong sih wis weruh kat mbiyen.” (Saya sudah tahu dari dulu).
“Sudahlah! Itu bukan urusan kita,” balas Sugito.
“Eh, Kang Mun. Andai Sri mau juga main denganku. Bukan hanya
kutang yang kubelikan.”
“Ndobos! Wis ura mungkin Sri demen ambi Rika, Kang.”
(Mustahil! Tidak mungkin Sri suka dengan Anda, Kang).
“Lo, belum tahu saja si Sri denganku.”
“Ya, jelas kalah mbok, Rika kalah sak kabehane ambi Kang
Noto, peline bae sak gedang.” (Ya, jelas kalah, Anda. Kalah segalanya dengan
Kang Noto. itunya saja sebesar pisang).
“Tahu dari mana?”
“Lah, nyong kiye perek ambi Kang Noto. Sok dadi kenek
nukangi, ya ruh bae. Kang Noto ura tahu sempakan. Ana manungsa kayak kuwe, ya.”
(La, saya ini dekat Kang Noto. Sering jadi kulinya, ya tahu saja. Kang Noto
tidak pernah pakai sempak itu. Ada orang seperti itu, ya).
“Sri jarku sih sih ura golet duwit. Seng digoleti kepuasan.
Ngranda seprana seprene ulih gedang gembor. Ya, bunga banget mbok.” (Sri itu
kalau menurut saya tidak mengharapkan hartanya. Jadi janda selama ini hanya
dapat pisang gembor. Ya, bahagia sekali).
“Halah! Belum tentu. Paling juga dipelet Kang Noto.”
“Aja kayak kuwelah? Kang Noto dudu kayak Mbah Suro. Ulih turuk
mung saka pengasihan rumangsaku.” (Jangan seperti itu? Kang Noto tidak seperti
Mbah Suro. Dapat tempe bacem hanya dari pengasihan).
“Nggone Rika dingo Sri. Gebres sih wis ucul! Ha ha ha.”
(Barangmu dipakai Sri. Bersin juga copot! Ha ha ha).
“Menghina? Menghina.”
“Ha ha ha. Uralah. Guyon mbok. Ben ura adem kiye. Temenan
ademe ura umum.” (Ha ha ha. Tidak. Bercanda. Biar tidak dingin ini. Sungguh
dingin teramat).
“Deneng suwe temen lih ngising. Ngising tai apa watu?”
(Kenapa lama sekali beraknya. Berak tai apa berak batu?).
Saimun mengarahkan senter. Tampak jamban cemplung, terlihat
tertutup oleh spanduk partai.
Akan tetapi ....
Gelotak!
Suara keras dari arah belakang mereka.
Sigap keduanya mengarahkan sorot senter pada bagian belakang
rumah yang ada di seberang jalan.
“Apa kae! Medi apa menungsa?” (Apa itu! Hantu apa manusia?).
Tampak sosok hitam berkelebat, terlihat mengendap, lalu
hilang di balik rumah kecil yang digunakan untuk keperluan MCK.
“Ayo, Kang! Kita pastikan apa itu!”
“Nyong rengkene bae lah. Ngana Rika bae.” (Saya di sini saja.
Anda saja sana).
“Ayo!” Sugito mengarahkan senter ke wajah Saimun.
“Cepat!”
Saimun berjalan di belakang Sugito, mengarahkan senter lurus.
Tampak plang bertuliskan ‘Bantuan PNPM’.
“Sapa! Aja medenilah!” (Siapa! Jangan menakut-nakuti!).
“Hus! Kalau Sampean berteriak seperti itu, dia akan tahu. Matikan
senternya!”
Tep!
Keadaan gelap seketika.
“Wis ayuh ngana baelah,” (Sudah ayo ke sana saja), bisik
Saimun.
Krek!
Suara pintu jamban dibuka.
“Sst! Kita tunggu. Lalu sergap setelah dia keluar.”
Dalam gelap Saimun mengangguk.
Lama mereka menunggu dibalik satu pohon sukun besar. Mata
keduanya tak lepas dari pintu jamban.
“Merek ngana,” (Mendekat ke sana), kata Saimun.
“Ayo.”
“Rika bae.” (Anda saja).
“Ayo!” Sugito menarik tangan Saimun.
“Sst!” Sugito memberi aba-aba, mereka telah ada di samping
jamban, merapat ke tembok.
“Satu ...”
“Dua ....” Sugito menghitung, memberi tanda untuk keduanya
segera menyergap pencuri yang ada di dalam, dengan cara masuk.
“Tiga!”
Tak sengaja, Saimun malah menyalakan senter.
Sorot terang jelas menyinari satu wajah yang terlihat mengejan, duduk jongkok di atas
kloset.
“Akh!”
Saimun terus berteriak, seiring ujung senter mengarah pada
lelaki yang bergegas berdiri dengan menutupi bagian pangkal paha.
“Woi!” teriak lelaki yang tadi jongkok dengan wajah kesal.
“Mlayu, Kang!” (Lari, Kang!), teriak Saimun segera ambil
langkah seribu meninggalkan Sugito.
“Akh!”
Mendapati kenyataan, Sugito juga ikut meninggalkan tempat itu
dengan pontang-panting mengejar Saimun.
“Diamput! Wong ngising malah dibatreki!” (Sialan! Orang berak
malah disenteri!), teriaknya, lelaki dengan celana melorot berbalik mengarahkan
sinar senter kepada Sugito dan Saimun. “Matane suwek! Gak roh wong ngiseng
malah dibatreki!” (Matanya sobek! Tidak tahu orang berak alah disenteri!).
****
“Aduh biyung. Aduh yung.” (Aduh, mak. Aduh, mak). Saimun
terengah-engah sesampainya kembali di sisi jalan.
Sinar senter Sugito mulai mendekat dengan bergerak cepat.
Sama, Sugito juga terengah begitu sampai di depan Saimun.
“Apa kae mau. Aduh yung ... aduh yung.” (Apa itu tadi. Aduh, mak
... aduh, mak). Saimun masih mencoba mengatur napas.
“Lek Tugiyo,” jawab Sugito.
“Lik Tugiyo? Temenan kae? Medeni temen ....” (Lek Tugiyo?
Sungguh? Menakutkan sekali ....). Saimun masih terengah memegangi dada, begitu
juga Sugito.
“Nyong nyenteri ngisore. Gembandul.” (Saya menyinari bagian
bawa. Menggantung).
“Aduh, aduh ... tratapan temenan kiye nyonge.” (Aduh, aduh
... sungguh deg-degan saya).
Sugito mulai mengatur napas. “Kang, Kang Noto!”
“Tuli suwe temen ulih ngising Kang Noto!” (Lama benar
beraknya Kang Noto!).
“Ngana susul. Ngising apa turu kae uwong!” (Sana jemput. Berak
apa tidur itu orang!).
Sugito meninggalkan Saimun, sekadar memastikan kalau
Kuswanoto memang masih ada di dalam bilik jamban.
“Kepriwe, Kang. Ana apa ura!” (Bagaimana, Kang. Ada apa tidak!),
teriak Saimun.
Seketika Sugito berlari. Sorot senter pontang-panting
menyinari sembarang arah.
“Tidak ada, Kang!”
“Cilaka! Deneng bisa kayak kuwe!” (Celaka! Bagaimana bisa
begitu!).
“Terus bagaimana dengan kita?”
Kresek!
Krak!
“Apa kuwe lah.” (Apa itu). Getar suara Saimun.
“Apa! Jangan mengada-ada!” bentak Sugito.
“Kuwe! Masa Allah, apa kuwe.” (Itu. Masa Allah, apa itu).
Sugito segera menoleh ke belakang, mengikuti telunjuk Saimun
yang berwajah pucat.
“Demit! Kuwe demit, Kang! Demit!” (Hantu! Itu hantu, Kang! Hantu!).
Saimun berlalu dengan mengangkat celana, meninggalkan Sugito.
Wing!
“Akh!”
Wus!
Tak lama berselang, Sugito dibuat tunggang langgang oleh satu
wajah yang tepat dia sorot. Begitu mengerikan dengan mata melotot serta kumis
tebal menghias bibir hitam. Semua tampak begitu menyeramkan, terlebih sinar
senter memperjelas rupa yang ada di hadapannya tadi.
Wes!
Wuing!
Sugito berlari kencang ke arah selatan, sementara Saimun
sudah tak lagi terlihat saat berlari ke utara.
“O, Wedos! Dikiro awakku ki demit seng mbaurekso wit iki ta?
Wedos!” (O, Kambing! Disangka saya ini hantu yang menunggu pohon ini apa?) Kuswanoto
merutuk, bingung harus menyusul siapa kini.
****
Pukul 01.03.39.
Asap masih mengepul tipis. Lampu panjar masih menyala. Sugito
terus mengarahkan senter ke segala arah.
Kresek!
Krak!
Makin sigap dia saat mendengar suara ranting terinjak. Dengan
merapatkan tangan, sorot senter jauh menyapu apa saja yang ada di pertigaan
jalan. Tanpa dia sadari satu sosok ada di belakangnya, melakukan hal sama.
Hingga bokong saling berbenturan.
“Wa!”
“Akh!”
“Asu!”
“Ngeget-ngegeti bae lah! Nangapa sih melung-melung!” (Buat
kaget saja! Ada apa teriak-teriak!), hardik Saimun.
“Sampean itu! Kenapa tiba-tiba ada di belakangku, ha!”
“Kang Noto sih reng ngendi?” (Kang Noto ke mana?).
“Kok tanya saya.”
“La kepriwe sih, Rika. Rika mbok mau sing keri. Nyong sih wis
ura kuat, wedi temenan.” (La bagaimana sih, Anda. Bukannya Anda yang belakang.
Saya sudah tidak kuat, sungguh takut).
“Itu tadi apa ya, Kang. Genderuwo atau apa, ya?”
“Mbuh ... pokok medeni. Jantunge nyong kiye. Demek ... demek
... jedak-jeduk kaya wis ngejak koploan. Wis ura maning-maning wis.” (Entah ...
pokoknya menakutkan. jantung saya ini. Pegang ... pegang ... jedak-jeduk
seperti mengajak koploan. Sudah jangan lagi-lagi).
“Wis ngenteni reng kene bae lah, ura usah mider-mider. Mendah
Kang Noto ura nyusul mengene.” (Sudah tunggu di sana saja, tidak usah keliling.
Masak iya Kang Noto tidak ke sini).
****
Pukul 04.17.29.
Keduanya masih terjaga, pikiran mereka tertuju kepada Kuswanoto.
“Asem. Paling Kang Noto sudah kelon dengan Yuk War di rumah.”
“Ngandel ura. Ya, kayak kuwe. Nyong baen mikir kayak kuwe.”
(Percaya tidak. Ya, seperti itu. Saya pikir seperti itu).
Keduanya beradu punggung seraya terus mengarahkan sorot
senter yang tak lagi berniat menyinari, sudah redup.
“Nek kayak kiye carane, seng ronda agi dewe, wong lara.”
(Kalau seperti ini, yang ronda tinggal kita, berdua).
“Mulih bae apa kpriwe yuh.” (Pulang saja apa yuk).
“Pulang? Belum jam lima ini,” balas Sugito, terus memainkan
senter yang sinarnya hanya mampu sejauh jempol kakinya saja.
“Sst!”
“Apa maning?” (Apa lagi?)
“Sst!”
“Iya. Nangapa sih!” (Iya. ada apa sih!).
“Itu ....”
“Itu ....”
“Ita itu apa? Nangapa!” (Ita itu apa? Kenapa!).
“Itu ada orang, Kang.” Sugito terus memperhatikan sosok hitam
yang keluar dari setapak menuju selatan.
“Ya, ben! Demit lewat mbok! Aja muni seng aneh-aneh. Dewe wis
wawuh ambi demit mbok?” (Ya, biar! Hantu lewat mungkin! Jangan bicara yang
aneh-aneh. Kita sudah berdamai dengan hantu, ‘kan?).
“Itu seperti orang berjalan, membawa sesuatu.”
“Temenan kuwe!” (Sungguh!).
Keduanya serempak mengarahkan senter ke arah yang dimaksud
oleh Sugito.
Sinar terjauh hanya jatuh selangkah di depan mereka, itu
senter milik Saimun, sementara milik Sugito, hanya menjulurkan lidah. Wek!
Pet!
“Wah! Habis setrumnya, Kang Mun.”
“Sudah ayo, kita tangkap saja! Aku yakin itu pasti
pencurinya.”
“Nguyak maning?” (Mengejar lagi?). Saimun garuk-garuk kepala.
“Ya, iya, Kang! Ayo sekarang!”
Sugito langsung mengejar.
Wus!
Saimun menyusul.
Wer!
Sugito yang sedikit bernyali langsung berlari meninggalkan
Saimun.
“Alah jabang bayik! Nyong ditinggal maning! Kang!” (Jabang
bayi! Saya ditinggal lagi! Kang!).
Wer!
Wuing!
Saimun mengeluarkan jurus Saipi Angin untuk mengejar Sugito.
****
Sugito terus menyelinap dari satu pohon ke pohon lainnya.
Sosok yang diikuti terus melangkah tergesa, sesekali dia
menoleh ke belakang, merasa ada yang mengikuti. “Sepertinya ada yang
mengikutiku,” batinnya.
Bergegas sosok dengan satu buntalan mempercepat langkah.
Mengetahui itu, Sugito terus mencoba makin mendekat dari
balik pepohonan.
Sosok itu kembali berhenti, menoleh ke belakang, tak lama
kemudian dia segera berlari.
Tak mau mengundang kecurigaan, Sugito juga berlari tanpa
berteriak. “Pokoknya harus aku buntuti terus orang itu. Aku mau lihat,
sebenarnya siapa dia.”
Sugito memutuskan untuk keluar dari persembunyiannya saat
sosok itu mulai tak tampak di hadapannya.
Tanpa pikir dua kali, Sugito berlari mencoba untuk
mengejarnya.
Empat puluh meter terhitung, sosok itu terus berlari dalam
kejaran Sugito.
Wer!
Wus!
Melesat cepat.
Wer!
Wes!
Sugito tak mau kalah, cepat mengejar.
Kejar-kejaran dalam jalanan gelap terjadi, membentuk dua
sosok hitam saling adu cepat.
“Tak akan lagi aku lepas kamu pencuri sialan!” seru Sugito
dalam hati.
Terus mengejar.
Wes!
Wuing!
Yang di depan terus berlari.
Wes!
Wuing!
****
Sugito menghentikan langkah saat didapati sosok itu masuk ke
dalam rumah.
“Ha? Apa tidak salah yang aku lihat?” Sugito baru tersadar
saat dia mengenal betul rumah yang tak jauh di depannya.
Sosok itu masuk melalui pintu depan.
****
Pukul 05.01.47.
Ting! (Notifikasi WA).
Ting! (Notifikasi WA).
Ting! (Notifikasi WA).
Ting! (Notifikasi WA).
Ting! (Notifikasi WA).
Di rumah lain.
Ting! (Notifikasi WA).
Di sebuah dapur.
Ting! (Notifikasi WA).
Di bawah bantal.
Ting! (Notifikasi WA).
Di atas sebuah meja.
Ting! (Notifikasi WA).
Di dalam kamar mandi.
Ting! (Notifikasi WA).
Bahkan juga berbunyi di dalam bilik kakus cemplung. Tampak
seseorang sedang jongkok di sana.
Ting! (Notifikasi WA).
“Opo neh iki? Gak roh wong jek ngiseng opo.” (Apa lagi ini?
Tidak tahu orang lagi berak apa).
Beberapa pesan tersebar dalam waktu singkat.
‘Mohon berkumpul di
gardu ronda pagi ini. Pencuri yang meresahkan warga sudah diketahui’.
Nah! Puluhan pesan masuk
mengabarkan kalau identitas pencuri kutang sudah diketahui. Siapakah pelakunya?
Trio Mbajuk segera kembali dengan Episode 3.
No comments:
Post a Comment